Harimau Jawa – Indonesia merupakan negara yang kaya akan keragaman satwa endemik. Salah satu contohnya adalah harimau. Hewan buas ini terdiri dari enam spesies berbeda di dunia dan satu diantaranya berstatus sebagai satwa endemik Nusantara.
Spesies dengan nama Panthera tigris ini terdiri atas tiga sub spesies, yaitu Harimau Sumatera, Bali, dan Jawa.
Namun dua diantaranya, yakni sub spesies Harimau Jawa dan Harimau Bali sudah dinyatakan punah, sedangkan Harimau Sumatera kondisinya saat berada dalam ancaman kepunahan.
Meskipun telah punah, tetapi pembahasan mengenai spesies ini masih cukup menarik. Selain karena menjadi spesies endemik Indonesia, spesies macan jawa ini juga mempunyai keunikan dibanding jenis harimau lainnya.
Daftar Isi
Taksonomi
Harimau Jawa sejatinya adalah saudara satu spesies dari Harimau Sumatera yang kini populasinya berada dalam status terancam. Selain itu juga berkerabat dekat dengan Harimau Bali yang telah punah.
Selain dikenal sebagai Harimau Jawa, satwa ini juga disebut sebagai Harimau Sunda. Pemberian nama tersebut menyesuaikan dengan lokasi habitat fauna dari keluarga Panthera ini.
Penamaan harimau asli Pulau Jawa ini memiliki sejarah yang cukup panjang, bahkan ketika spesiesnya telah punah. Awalnya pada tahun 1844, Temminck memberikan nama Latin Felis tigris sondaicus, kemudian mengalami perubahan satu abad berikutnya.
Reginald Innes Pocock yang merupakan ahli taksonomi berkebangsaan Inggris selanjutnya mengelompokkan Harimau Jawa ke dalam genus Panthera pada tahun 1929. Perubahan genus tersebut mengubah nama ilmiahnya menjadi Panthera tigris. Penamaan tersebut menunjukkan bahwa spesies ini sama dengan harimau yang hidup di Pulau Sumatera.
Kemudian pada tahun 2017, Cat Classification Task Force yang merupakan bagian dari Cat Specialist Group mengubah taksonomi keluarga kucing serta mengakui bahwa harimau yang hidup di Indonesia yang telah punah ini dengan nama ilmiah Panthera tigris sundaica.
Berikut ini adalah taksonomi dari Harimau Jawa, yaitu:
Kingdom | Animalia |
Filum | Chordata |
Sub-filum | Vertebrata |
Kelas | Mammalia |
Famili | Felicidae |
Sub-famili | Machairodonyinae |
Genus | Panthera |
Spesies | Panthera tigris |
Sub-spesies | Panthera tigris sundaica |
Morfologi
Secara fisik Harimau Jawa mempunyai ukuran tubuh relatif kecil bila dibandingkan dengan spesies harimau lain di Asia. Akan tetapi harimau endemik Jawa ini berukuran lebih besar bila dibandingkan dengan Harimau Bali dan hanya sedikit lebih kecil dibandingkan dengan Harimau Sumatera.
Ukuran tubuh rata-rata sub-spesies Macan Jawa yaitu panjang sekitar 248 cm atau 2,5 meter. Berat badannya mulai dari 100 sampai 141 kg. Khusus untuk Harimau Jawa betina memiliki berat tubuh lebih ringan dibanding jantan, yaitu antara 75 hingga 115 kg. Pada tubuhnya terdapat garis memanjang tipis dan jumlahnya cukup banyak.
Menurut aturan Bergmann, ukuran tubuh Harimau Jawa relatif kecil dibanding saudara satu spesiesnya disebabkan oleh perbedaan makanan yang tersedia di pulau ini. Mangsa buruan harimau yang ada di Jawa umumnya adalah binatang bertanduk dan berkuku belah yang berukuran tubuh lebih kecil jika dibanding mangsa yang hidup di wilayah Asia pada umumnya.
Meski begitu spesies endemik Indonesia ini termasuk yang hidup di Pulau Sumatera dan Pulau Bali diketahui mempunyai jejak kaki lebih besar dibanding jejak Harimau Bengal. Harimua Bengal adalah spesies harimau yang hidup di sepanjang dataran Bangladesh, India, hingga Nepal.
Hal ini juga diperkuat dengan pendapat dari Chalres Frederick Partington. Menurut Partington, Harimau Sumatera dan Jawa mempunyai tubuh dan kaki yang kuat.
Meskipun memiliki tubuh dengan bobot dan ukuran lebih kecil daripada Harimau Bengal, tetapi memiliki kemampuan untuk mematahkan kaki binatang besar seperti sapi, kerbau, dan kuda dengan menggunakan cakarnya.
Tengkorak Harimau Jawa mempunyai struktur yang berbeda dengan Harimau Sumatera dan Harimau Bali. Pada bagian dahi atau oksipitalnya sangatlah sempit, tulang hidungnya sempit dan panjang, begitu pula bagian kranasialnya. Oleh sebab itu, beberapa ahli menyarankan untuk membedakan spesies ini dari taksonominya.
Habitat dan Sebaran
Penelitian mengenai keberadaan Harimau Jawa dilakukan dengan menganalisis mtDNA atau Mitochondrial DNA yang berasal dari 23 sampel. Sampel tersebut diambil dari koleksi yang terdapat di beberapa museum. Hasilnya menunjukkan bahwa binatang ini pernah menjelajahi wilayah Kepulauan Sunda sekitar 11.000 hingga 12.000 tahun silam.
Harimau Jawa diketahui membentuk habitat di kawasan hutan dataran rendah, kawasan semak belukar, dan areal perkebunan wanatani yang ada di dekat pemukiman penduduk sebelum akhirnya punah. Adapun persebarannya sesuai dengan namanya, yaitu hanya hidup di sepanjang wilayah Pulau Jawa.
Masyarakat Jawa pada masa lalu menganggap satwa ini sebagai hama yang mengganggu perkebunan mereka. Sehingga kerap dilakukan perburuan yang salah satunya menjadi penyebab punahnya harimau ini.
Menurut penelitian, predator ini masih mendiami sebagian besar wilayah Pulau Jawa pada akhir abad ke-19 Masehi. Kemudian pada tahun 1940 keluarga kucing ini mulai terdesak dan pindah ke kawasan pegunungan dan hutan yang terpencil.
Kondisi itu terus berlanjut hingga akhirnya sekitar tahun 1970 Harimau Jawa diketahui hanya hidup di kawasan Gunung Betiri pada ketinggian 1.192 meter di atas permukaan laut. Gunung tersebut dikenal sebagai gunung paling tinggi di bagian tenggara Pulau Jawa dengan kondisi sangat landai dan alami.
Karena habitatnya yang terpencil maka tidak ada orang yang mampu menjangkau keberadaannya. Hal ini juga disebabkan oleh kondisi medan yang sangat sulit untuk dilalui.
Lalu pada tahun 1972 kawasan yang berada di gunung dengan luas 500 km persegi ditetapkan menjadi Suaka Margasatwa. Di tempat ini Harimau Jawa terakhir kali terlihat pada tahun 1976.
Makanan
Macan Jawa merupakan kelompok binatang karnivora, yaitu hewan pemakan daging. Binatang ini umumnya mengonsumsi satwa lain seperti rusa, babi hutan, banteng, dan juga unggas air serta keluarga reptil. Jenis mangsa inilah yang kemudian mempengaruhi bentuk tubuh dari Harimau Jawa.
Reproduksi
Proses perkembangbiakan Harimau Jawa hingga saat ini belum diketahui dengan pasti, meliputi masa kedewasaan atau kematangan reproduksi, perkawinan, kehamilan, hingga kondisi bayinya. Hal tersebut tidak lepas dari keberadaan spesies ini yang sudah hampir punah ketika diketahui pertama kali.
Penyebab Kepunahan
Punahnya salah satu spesies endemik Nusantara ini tidak lepas dari perilaku manusia yang mengambil alih habitatnya. Padahal sebelum manusia melakukan ekspansi dengan membuka areal hutan di Pulau Jawa, keberadaan Harimau Jawa masih cukup aman dengan persebaran yang hampir merata di seluruh Jawa.
Kepunahan hewan ini dimulai pada awal abad ke-20 ketika manusia mulai menghuni Pulau Jawa dan kenaikan jumlah penduduk semakin meningkat. Total penduduk Jawa saat itu diperkirakan mencapai 28 juta jiwa. Sementara itu hasil produksi beras pada masa tersebut tidak mampu mencukupi kebutuhan harian masyarakat setempat.
Hal tersebut memicu berbagai upaya untuk memenuhi kebutuhan manusia, salah satunya dengan membuka lahan pertanian. Lahan yang dibuka pun cukup luas, karena dalam kurun waktu sekitar 15 tahun lebih dari 15% areal hutan di Pulau Jawa yang beralih fungsi menjadi persawahan.
Kondisi tersebut terus berlanjut, terlebih lagi pada masa itu posisi Pulau Jawa dianggap sebagai pusat Nusantara. Pada tahun 1938 diketahui total wilayah yang masih berupa tutupan hutan di Pulau Jawa hanya sekitar 23% dari total keseluruhan sebelumnya.
Selanjutnya pada tahun 1975 sisa hutan di Pulau Jawa yang masih tersisa hanya tinggal 8%. Sedangkan populasi manusia terus mengalami peningkatan yang sangat drastis hingga mencapai 85 juta jiwa. Kondisi tersebut memicu upaya pemusnahan terhadap berbagai jenis binatang, termasuk Harimau Jawa.
Berdasarkan beberapa data yang diperoleh, dapat disimpulkan mengenai penyebab utama musnahnya populasi Harimau Jawa. Selain karena pembukaan lahan hutan oleh manusia, berikut ini adalah beberapa penyebab tersebut, antara lain:
- Ketika habitat Macan Jawa mulai mengalami penyusutan, banyak pihak yang memberi racun kepada satwa ini. Hal itu juga dipicu oleh anggapan penduduk bahwa harimau merupakan hama bagi ladang atau persawahan mereka.
- Binatang yang menjadi mangsa Harimau Jawa juga diracuni sehingga mengakibatkan satwa ini kehilangan mangsa alami. Rusa yang merupakan mangsa utama harimau perlahan-lahan mengalami pengurangan populasi akibat adanya penyakit yang menyerang binatang ini baik di hutan dan Cagar Alam pada tahun 1960-an.
- Berakhirnya Perang Dunia II menyebabkan keberadaan hutan semakin minim. Kawasan hutan dialihfungsikan menjadi lahan perkebunan, seperti kebun jati, kebun karet, dan kebun kopi. Padahal wilayah perkebunan seperti itu sangat tidak memadai untuk ditempati satwa liar seperti Harimau Jawa.
- Pada tahun 1965 ketika Indonesia sedang berada di masa kerusuhan sipil, banyak kelompok bersenjata yang bersembunyi ke dalam hutan di Pulau Jawa yang masih tersisa dan bahkan masuk hingga kawasan Cagar Alam. Tentu saja hal ini mengancam satwa karena kelompok tersebut tidak segan membunuh harimau di dalam hutan.
Upaya Penyelamatan
Meskipun keberadaan Harimau Jawa baru diketahui saat binatang ini berada di ambang kepunahan, tetapi para pegiat sosial masih tetap mengupayakan usaha penyelamatan.
Upaya ini melibatkan berbagai pihak termasuk pemerintah dan lembaga sosial. Pihak terkait melakukan pemetaan penyelamatan Harimau Jawa dari tahun ke tahun yang dapat digambarkan sebagai berikut:
1. Pendirian Kawasan Hutan Lindung
Pada tahun 1960 tercatat ada tiga Hutan Lindung yang terdapat di Pulau Jawa dan menjadi tempat hidup Harimau Jawa. Ketiga kawasan tersebut adalah Cagar Alam Leuweng Sancang, Taman Nasional Baluran, dan Taman Nasional Ujung Kulon yang didirikan pada tahun 1920-an hingga 1930-an.
Ketika kerusuhan yang terjadi di Pulau Jawa berangsur-angsur mereda, individu Harimau Jawa sudah tidak lagi terlihat beraktivitas di sekitar pemukiman penduduk. Akan tetapi pada tahun 1971 seekor Macan Jawa betina berumur tua ditemukan mati tertembak di areal perkebunan sekitar Gunung Betiri.
Penemuan tersebut menjadi informasi terakhir mengenai keberadaan Harimau Jawa. Sebab sejak saat itu anak harimau yang biasa melintas juga tidak pernah muncul kembali. Hal itu membuat pemerintah meningkatkan status Gunung Betiri menjadi Suaka Margasatwa pada tahun 1972.
Tidak hanya itu, bersamaan dengan penetapan Suaka Margasatwa Gunung Betiri, dibentuklah pasukan kecil yang bertugas menjaga sekitar kawasan ini serta melaksanakan empat proyek dengan tujuan untuk mengelola habitat Harimau Jawa. Sayangnya lokasi ini sedikit terganggu dengan adanya dua perkebunan besar di dekat lembah sungai.
Padahal areal di sekitar lembah sungai tersebut merupakan habitat yang paling kondusif untuk Harimau Jawa. Selain karena lingkungannya optimal, ketersediaan mangsa juga memadai. Meskipun dalam rentang beberapa tahun setelah itu satwa ini tidak pernah terlihat, tetapi kegiatan penelitian tetap berlanjut.
Akhirnya pada tahun 1976 kembali ditemukan jejak Harimau Jawa di kawasan sebelah timur Suaka Margasatwa atau Cagar Alam. Berdasarkan jejak tersebut ditarik kesimpulan bahwa jumlah harimau yang pernah beraktivitas di sekitar lokasi setidaknya ada tiga sampai lima ekor.
Lokasi penemuan jejak Harimau Jawa tersebut diketahui menjadi tempat hidup banteng yang menjadi mangsa harimau. Akan tetapi tidak ditemukan jejak rusa, jenis makanan paling disukai keluarga kucing ini. Hingga pada tahun 1979 penjaga Suaka Margasatwa tidak lagi menemukan jejak atau penampakan satwa ini.
2. Sterilisasi Kawasan Hutan Lindung
Sebagaimana telah disebutkan bahwa kawasan hutan lindung di Gunung Betiri adalah lokasi habitat Harimau Jawa yang dekat dengan dua perkebunan besar. Kemudian sejak terakhir kalinya binatang ini terlihat, tepat pada tahun 1980 diajukan saran untuk mensterilkan kawasan ini dari gangguan manusia sekaligus memperluas kawasan suaka.
Usul tersebut diterima dan dilaksanakan pada tahun 1982 setelah Otoritas Konservasi Alam Indonesia memutuskannya. Sayangnya hal itu sudah terlambat dilakukan. Terlebih lagi jumlah Harimau Jawa yang diperkirakan masih hidup hanya menyisakan beberapa individu.
3. Ekspedisi
Pada tahun 1984 kembali terjadi penemuan seekor Harimau Jawa yang terbunuh di kawasan Cagar Alam Halimun atau sekarang Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Kemudian pada tahun 1989 juga kembali ditemukan jejak kaki seukuran tapak harimau di sekitar lokasi tersebut.
Lima tahun setelah sterilisasi Suaka Margsatwa, tepatnya di tahun 1987 mahasiswa dari almamater Institut Pertanian Bogor mengadakan ekspedisi untuk mencari jejak Harimau Jawa di wilayah Meru Betiri. Hasilnya cukup memuaskan, karena kelompok yang terdiri atas lima orang itu menemukan jejak harimau dan juga kotorannya.
Tidak cukup sampai disitu, satu tahun setelah tapak kaki yang diduga milik Harimau Jawa ditemukan di Cagar Alam Halimun, sekelompok ahli biologi yang terdiri dari enam orang melakukan ekspedisi ke dalam hutan. Akan tetapi penjelajahan tersebut tidak membuahkan hasil.
4. Observasi
Pada tahun 1992 pihak Taman Nasional Meru Betiri bersama lembaga World Wildlife Fund Indonesia atau WWF kembali melakukan observasi dengan memasang perangkap kamera di sekitar taman nasional. Total keseluruhan ada 19 kamera yang disebar pada titik yang berbeda-beda.
Sayangnya mulai dari Maret 1993 hingga Maret 1994 tidak ada satupun perangkap kamera yang berhasil mendapat gambar penampakan atau jejak Harimau Jawa. Akhirnya tepat setelah laporan akhir dari pengamatan tersebut dirilis, spesies dengan nama latin Panthera tigris sondaica dinyatakan punah.
Akan tetapi Kepala Taman Nasional tetap kukuh untuk melakukan pencarian kembali di Taman Nasional Meru Betiri pada tahun 1999. Pencarian itu dilakukan oleh 12 staf terlatih taman nasional dengan memasang kamera perangkap dan juga observasi langsung.
Bahkan The Tiger Foundation, sebuah organisasi yang berasal dari Kanada turut memberikan bantuan berupa kamera inframerah untuk mencari keberadaan spesies yang telah dinyatakan punah ini. Hanya saja satu tahun sejak pengamatan dilakukan tidak ditemukan indikasi keberadaan spesies Harimau Jawa lagi.