Hutan Mangrove – Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki garis pantai sepanjang 54.716 km, terpanjang ke-2 di dunia setelah Kanada. Garis pantai ini berupa hutan bakau yang sebagian besar tumbuh tepian pantai atau rawa. Mangrove di Indonesia umumnya tumbuh berjajar rapi mengikuti tepi pantai yang ada.
Daftar Isi
Pengertian Hutan Bakau
Terdapat berbagai definisi mengenai hutan bakau, menurut Steenis (1978) hutan bakau adalah vegetasi hutan yang tumbuh diantara garis pasang surut. Sedangkan menurut Nybakken (1988), hutan bakau adalah istilah umum untuk menggambarkan suatu komunitas pantai tropik yang terdiri dari spesies pohon yang khas atau semak-semak yang memiliki kemampuan tumbuh di perairan asin.
Pendapat lain mengenai pengertian hutan bakau juga datang dari Soerianegara (1990), yaitu hutan yang tumbuh di daerah pantai, umumnya terdapat di daerah teluk dan muara sungai dengan ciri-ciri sebagai berikut:
- tidak terpengaruh iklim
- dipengaruhi pasang surut air laut
- tanah tergenang air laut
- tanah rendah pantai
- hutan tidak memiliki struktur tajuk
- jenis pohon terdiri dari api-api (Avicenia sp.), pedada (Sonneratia sp.), bakau (Rhizophora sp.), lacang (Bruguiera sp.), nyirih (Xylocarpus sp.), nipah (Nypa sp.)
Dari beberapa pengertian hutan mangrove diatas, maka dapat disimpulkan bahwa hutan bakau adalah hutan yang tumbuh pada daerah rawa-rawa berair payau yang letaknya berada di garis pantai dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut, serta juga terdapat di daerah pantai sekitar muara sungai.
Luas dan Sebaran
Bakau tersebar di sekitar wilayah khatulistiwa dengan iklim tropis dan sebagian iklim subtropis. Luas bakau di Indonesia sekitar 2,5 juta hingga 4,5 juta hektar dan merupakan hutan mangrove terluas di dunia.
Negara lain yang juga memiliki hutan bakau luas, yaitu Brazil (1,3 juta hektar), Nigeria (1,1 juta hektar) dan Australia (0,97 hektar). Dengan perbandingan tersebut, hutan bakau di Indonesia memiliki bagian 25% dari total luas hutan mangrove di dunia.
Dangkalan Sunda merupakan wilayah yang memiliki hutan bakau terluas di Indonesia. Sebab, wilayah ini merupakan perairan yang tenang dan menjadi lokasi muara sungai-sungai besar, antara lain pantai utara Jawa, pantai timur Sumatera, dan pantai barat serta selatan Kalimantan. Namun, saat ini kondisinya terancam dan kritis akibat kebutuhan lahan penduduk.
Wilayah Indonesia bagian timur juga memiliki hutan bakau, tepatnya di tepi Dangkalan Sahul, yaitu pantai barat daya Papua, terutama di sekitar wilayah Teluk Bintuni. Papua memiliki laus hutan mangrove mencapai 1,3 juta hektar dan merupakan sepertiga dari luas bakau di Indonesia.
Lingkungan Hutan Mangrove
Tumbuhan yang tumbuh di hutan bakau memiliki jenis yang berbeda-beda karena reaksi terhadap lingkungan fisik sekitar. Hal ini mengakibatkan munculnya zona-zona vegetasi tertentu. Faktor lingkungan fisik tersebut antara lain:
- Jenis Tanah
Hutan bakau yang berada di wilayah pesisir merupakan lokasi pengendapan dan berupa substrat yang bisa sangat berbeda. Contoh umum adalah hutan bakau yang tumbuh diatas lumpur tanah liat yang bercampur bahan organik. Namun, terdapat pula karena jumlah bahan organik yang terlalu banyak maka hutan bakau tumbuh diatas tanah gambut.
Substrat lainnya yaitu lumpur dengan kandungan pasir tinggi, bahkan pecahan karang yang lebih dominan. Biasanya jenis tanah ini terdapat di sekitar pantai yang dekat dengan terumbu karang.
- Terpaan Gelombang / Ombak
Hutan mangrove merupakan perisai alam untuk menahan gelombang laut. Bagian hutan bakau yang langsung berhadapan dengan laut terbuka merupakan bagian hutan yang selalu mengalami terpaan ombak keras dan arus yang kuat. Sedangkan pada bagian sisi lainnya merupakan bagian hutan yang memiliki perairan dangkal yang lebih tenang.
Hal tersebut mirip dengan bagian hutan yang berhadapan dengan aliran air sungai atau tepi sungai. Namun terdapat perbedaan, seperti salinitas bagian ini tidak terlalu tinggi, terutama bagian yang jauh dari muara.
- Pasang Surut
Lingkungan hutan bakau pada umumnya selalu tergenang air. Namun, terkadang genangan air tidak selalu terjadi dan dipengaruhi faktor pasang surut air laut. Kondisi ini secara alami akan terbentuk zonasi vegetasi mangrove yang berlapis-lapis yang dimulai dari bagian luar yang terkena gelombang laut hingga ke dalam yang relatif kering.
Jenis Bakau
Pada bagian luar hutan mangrove yang terkena ombak langsung, biasanya ditumbuhi jenis bakau Rhizophora spp. Sedangkan pada tanah lumpur ditumbuhi Rhizophora apiculata dan R. mucronata. Kemudian, pada bagian hutan bakau yang lebih tenang airnya atau disebut zona pionir ditumbuhi bakau api-api hitam (Avicennia alba).
Pada bagian lebih dalam dan masih tergenang pasang tinggi, umumnya ditumbuhi campuran bakau R. mucronata seperti jenis kendeka (Bruguiera spp.), kaboa (Aegiceras corniculata) dan lain-lain. Sedangkan jenis bakau di tepi sungai yang memiliki air lebih tawar maka dapat ditemukan jenis mangrove nipah (Nypa fruticans), pidada (Sonneratia caseolaris) dan bintaro (Cerbera spp.)
Wilayah hutan bakau yang lebih kering ditumbuhi bakau jenis nirih (Xylocarpus spp.), teruntum (Lumnitzera racemosa), dungun kecil (Heritiera littoralis) dan kayu buta-buta (Excoecaria agallocha).
Bentuk Adaptasi
Hutan bakau memiliki habitat yang ekstrim sehingga tumbuhan yang hidup di daerah ini harus memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi. Secara fisik, vegetasi hutan mangrove menumbuhkan organ khas untuk bertahan hidup, seperti bentuk akar dan kelenjar garam pada daun tanaman. Selain itu, juga terdapat adaptasi fisiologis dalam bentuk lain.
Jenis pohon bakau (Rhizophora spp.) yang tumbuh di zona terluar beradaptasi dengan membentuk akar tunjang (stilt root) untuk bertahan dari gelombang laut yang keras. Jenis bakau api-api (Avicennia spp.) dan pidada (Sonneratia spp.) menumbuhkan akar napas (pneumatophore) untuk mengambil oksigen dari udara
Pohon bakau kendeka (Bruguiera spp.) memiliki akar lutut (knee root), serta bakau nirih (Xylocarpus spp.) memiliki bentuk akar papan yang panjang dan berkelok-kelok untuk menunjang pertumbuhan diatas lumpur dan memperoleh udara. Selain itu, hampir seluruh jenis mangrove memiliki lentisel berupa lubang pori pada pepagan untuk bernapas.
Bentuk adaptasi terhadap salinitas yang tinggi, bakau api-api mengeluarkan kelebihan garam melalui kelenjar yang berada dibawah daun. Sedangkan bakau jenis yang lain, seperti Rhizophora mangle memiliki sistem perakaran yang hampir tak tertembus air garam. Air yang diserap oleh akarnya memiliki kadar 90%-97% terbebas dari kandungan garam laut atau mendekati tawar. Garam yang terkandung dalam tumbuhan bakau akan terkumpul di daun tua dan akan terbuang ketika daun gugur.
Untuk mengurangi evaporasi akibat terik matahari yang menyebabkan penguapan, beberapa jenis tumbuhan mangrove mempunyai kemampuan untuk mengatur bukaan mulut daun atau stomata. Kemampuan tersebut bertujuan agar kandungan air yang dimiliki pohon bakau tetap terjaga.
Perkembangan Hutan Mangrove
Hutan bakau yang tumbuh di area lumpur tentu hampir tidak memungkinkan untuk berkembang biak dengan cara berkecambah melalui biji-bijian. Selain itu, kondisi kimiawi seperti kandungan garam yang tinggi dan kondisi pasang surut juga akan membuat biji bakau sulit bertahan.
Sebagian besar flora hutan bakau menghasilkan biji atau buah yang dapat mengapung sehingga dapat terseber bersama arus air. Terdapat pula jenis mangrove yang memiliki sifat vivipar, yaitu biji atau benih telah berkecambah sebelum gugur dari pohon.
Pada perkecambahan buah bakau (Rhizophora), tengar (Ceriops) atau kendeka (Bruguiera), buah jenis ini telah berkecambah dan memiliki akar panjang serupa tombak ketika masih bergantung pada tangkai pohon. Ketika buah rontok dan jatuh maka dapat langsung menancap di lumpur atau terbawa air pasang kemudian tersangkut dan tumbuh di tempat lain.
Pada bakau jenis nipah (Nypa fruticans), pada buahnya telah muncul pucuk saat masih melekat di tandannya. Sedangkan buah bakau api-api, kaboa (Aegiceras), jeruju (Acanthus) dan lainnya telah berkecambah di pohon, meski dari luar tidak terlihat. Kemampuan ini disebut dengan istilah propagul, yaitu anak semai.
Peran Hutan Bakau
Keberadaan hutan bakau memiliki fungsi dan mandaat penting bagi ekosistem hutan, air dan alam sekitarnya. Peranan hutan mangrove dapat dilihat dari segi fisik, biologi, serta ekonomi sebagai berikut:
- Fungsi dan manfaat bakau secara fisik
- Fungsi dan manfaat bakau secara biologi
- Habitat biota laut
- Sumber makanan bagi spesies hutan mangrove
- Habitat satwa seperti kera, buaya, ular dan burung
- Fungsi dan manfaat bakau secara ekonomi
- Lokasi pariwisata hutan mangrove
- Sumber kayu
- Sumber makanan ikan, udang, kepiting dan biota laut lain
- Sumber tanaman obat seperti daun Bruguiera sexangula sebagai obat penghambat tumor
- Sumber mata pencaharian masyarakat, contohnya nelayan dan petani tambak
Selain itu, hutan bakau juga menjadi habitat hewan-hewan yang dapat ditangkap dan memiliki nilai ekonomis, seperti: biawak air (Varanus salvator), kepiting bakau (Scylla serrata), udang lumpur (Thalassina anomala), siput bakau (Telescopium telescopium), serta berbagai jenis ikan belodok.
Flora Hutan Mangrove
Hutan bakau memiliki aneka macam tumbuhan. Namun hanya sekitar 54 spesies dari 20 genera, anggota dari 16 suku yang dianggap sebagai mangrove sejati. Dari jenis-jenis itu, sekitar 39 jenis ditemukan di Indonesia.
Jumlah tersebut menjadi Indonesia memiliki hutan bakau terkaya di wilayah Samudera Hindia dan Pasifik. Jumlah keseluruhan yang telah diketahui adalah 202 spesies.
- Penyusun Utama
Suku | Genus, jumlah spesies |
Acanthaceae / Avicenniaceae / Verbenaceae | Avicennia (api-api) |
Combretaceae | Laguncularia, Lumnitzera (teruntum) |
Arecaceae | Nypa (nipah) |
Rhizophoraceae | Bruguiera (kendeka), Ceriops (tengar), Kandelia (berus-berus), Rhizophora (bakau) |
Sonneratiaceae | Sonneratia (pidada) |
- Penyusun Minor
Suku | Genus, jumlah spesies |
Acanthaceae | Acanthus (jeruju), Bravaisia |
Bombacaceae | Camptostemon |
Cyperaceae | Fimbristylis (mendong) |
Euphorbiaceae | Excoecaria (kayu buta-buta) |
Lythraceae | Pemphis (cantigi laut) |
Meliaceae | Xylocarpus (nirih) |
Myrsinaceae | Aegiceras (kaboa) |
Myrtaceae | Osbornia |
Pellicieraceae | Pelliciera |
Plumbaginaceae | Aegialitis |
Pteridaceae | Acrostichum (paku laut) |
Rubiaceae | Scyphiphora |
Sterculiaceae | Heritiera (dungun) |
Suksesi Hutan Bakau
Suksesi hutan adalah kemampuan tumbuh dan berkembangnya suatu hutan, atau disebut juga forest succession atau sere. Salah satunya adalah suksesi kawasan bakau yang berada di lahan basah (hydrosere).
Suksesi bakau berawal dari terbentuknya paparan lumpur (mudflat) yang berfungsi sebagai substrat hutan bakau. Kemudian dilanjutkan substrat baru yang ditumbuhi oleh propagul-propagul vegetasi mangrove, sehingga mulai terbentuk vegetasi pionir hutan bakau.
Adanya hutan bakau memiliki manfaat untuk menangkap lumpur. Tanah halus atau lumpur, pasir yang terbawa arus laut, serta segala macam sampah dan hancuran vegetasi, akan mengendap di perakaran vegetasi mangrove. Sehingga material yang tertangkap akan terakumulasi dan sebaran bakau semakin meluas.
Jika bagian dalam hutan bakau mulai mengering dan tidak lagi cocok untuk pertumbuhan bakau pionir, maka terbentuklah zona yang baru di bagian belakang. Perubahan yang terjadi selama berpuluh-puluh hingga beratus-ratus tahun akan menjadikan zona pionir terus maju dan zona berikutnya muncul dibagian pedalaman yang mengering.
Kondisi Hutan Mangrove Indonesia
Indonesia memiliki luas hutan mangrove di dunia. Menurut data FAO pada tahun 2007, luas hutan bakau Indonesia adalah 3.062.300 hektar atau 19% dari keseluruhan di dunia. Jumlah ini melebihi Australia sekitar 10% dan Brazil sekitar 7%.
Sedangkan menurut Arobaya dan Wanma, Indonesia memiliki 27% bagian hutan mangrove dunia atau sekitar 4,25 juta hektar. Data dari dalam negeri juga menyatakan kemiripan, yakni 4,3 juta hektar (Kementrian Kehutanan, 2006).
Namun, kerusakan hutan bakau di Indonensia dari tahun ke tahun semakin parah. Deforestasi kawasan bakau mencapai 42% dalam keadaan rusak berat, 29% keadaan rusak, hutan bakau dalam kondisi baik kurang dari 23% serta 6% yang kondisinya sangat baik.
Kerusakan hutan mangrove lebih cepat dibanding jenis hutan lainnya. Pasalnya, banyak kawasan bakau dirubah fungsinya untuk pembangunan kota dan pusat pariwisata. Selain itu, penggunaan lahan bakau untuk persawahan, ladang dan tambak udang semakin memperparah keadaan ini.