Konservasi – Pengertian, Tujuan, Manfaat, Metode, Contoh & Sejarah di Indonesia

3.7/5 - (59 votes)

Konservasi – Manusia mempunyai sikap alamiah untuk hidup dengan memanfaatkan apa yang telah disediakan oleh alam. Sayangnya manusia sering melupakan bahwa pemanfaatan keragaman hayati secara tidak bijaksana justru berdampak negatif. Dampak paling buruk adalah kekayaan alam tersebut akan menjadi langka, bahkan punah.

Kelangkaan dan kepunahan berbagai spesies sangat berpengaruh pada kelangsungan hidup manusia. Berangkat dari kondisi itulah diperlukan adanya konsep atau upaya yang dilakukan untuk tetap melestarikan kekayaan alam. Upaya tersebut menerapkan konsep mutualisme antara manusia dan alam yang selanjutnya dikenal sebagai konservasi.

Pengertian Konservasi

Pengertian konservasi secara leksikal dapat dilihat pada Kamus Besar Bahasa Indonesia atau KBBI. Termaktub arti konservasi adalah pemeliharaan dan perlindungan sesuatu secara teratur untuk mencegah kerusakan dan kemusnahan dengan jalan mengawetkan, pengawetan, dan pelestarian.

Undang Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati juga memberikan pengertian konservasi, yaitu pengelolaan sumber daya alam hayati di mana pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana demi menjamin kesinambungan persediaan hayati dengan meningkatkan dan memelihara kualitas keanekaragaman nilainya.

Menurut International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN), konservasi merupakan suatu kegiatan memanajemen antara kehidupan manusia dengan sumber daya alam agar tercipta kehidupan bisa tetap dipertahankan dan dilestarikan.

upaya konservasi Pixabay

Konservasi juga dapat diartikan sebagai pengelolaan biosfer secara bebas dan aktif dengan tujuan menjaga kelangsungan hidup keragaman spesies, memelihara keragaman genetik yang dimiliki setiap spesies, serta pemeliharaan siklus nutrisi dan fungsi ekosistem sebagaimana yang disebutkan oleh Michael Allaby dalam A Dictionary of Ecology.

Jika merujuk pada ketiga pengertian tersebut, secara sederhana konservasi dapat diartikan sebagai upaya tertentu yang bersifat bijaksana dalam mengelola keanekaragaman hayati serta lingkungannya sesuai dengan kondisi yang seharusnya, sehingga manusia ataupun alam bisa tetap lestari.

Tujuan Konservasi

Tujuan dasar dari konservasi adalah memberi perlindungan terhadap keanekaragaman hayati dan ekosistemnya agar manusia tetap bisa memanfaatkannya. Akan tetapi tujuan tersebut bisa dibagi lagi menjadi beberapa poin yang lebih spesifik.

Berikut adalah beberapa tujuan konservasi, antara lain:

  • Memberi perlindungan, pembatasan, serta pemeliharaan kepada suatu area atau lingkungan yang bernilai agar menghindari kemungkinan terjadinya kerusakan apalagi kepunahan pada komponen yang menjadi pembentuk dari lingkungan tersebut, sehingga bisa menyebabkan ketidakseimbangan ekosistem.
  • Menekankan untuk memanfaatkan kembali bangunan atau tempat yang sudah tidak dipergunakan dengan cara memperbarui atau mengembalikan fungsinya seperti semula agar dapat dipakai kembali, sehingga dapat mencegah terjadinya kegiatan pembukaan baru seperti mengalihkan fungsi hutan menjadi non-hutan.
  • Melindungi situs, benda bersejarah, serta cagar budaya dari kerusakan sampai dengan kehancuran. Cagar budaya terletak pada kawasan yang mempunyai keanekaragaman hayati banyak, contohnya Satuan Ruang Geografis Sangiran di Sragen, Jawa Tengah. Lingkungan sekitar kawasan tersebut juga memerlukan penjagaan untuk melindungi cagar budaya.
  • Memelihara kualitas lingkungan agar tetap baik dengan memastikan ketersediaan air dan udara bersih. Lingkungan ini mencakup wilayah daratan hingga perairan.

Manfaat Konservasi

Manfaat dari upaya konservasi secara umum dapat dibagi menjadi dua, yaitu manfaat yang dirasakan oleh manusia dan manfaat yang dirasakan oleh komponen dalam kawasan yang dilestarikan keberlangsungannya.

Manfaat tersebut antara lain:

  • Manfaat Ekologi
    Manfaat yang diperoleh dari upaya konservasi ini adalah membuat keanekaragaman hayati bisa memperoleh perlindungan melalui keseimbangan ekosistem, sehingga terbebas dari ancaman kepunahan.
  • Manfaat Ekonomi
    Menjaga kelestarian alam juga dapat memberi manfaat ekonomi bagi manusia, karena alam sebagai sumber pendapatan tetap terjaga sehingga hasilnya dapat terus dimanfaatkan. Jika suatu lingkungan mengalami kerusakan, maka resiko kerugian bisa terus meningkat.

Metode Konservasi Lingkungan

Secara umum ada dua metode konservasi lingkungan yang bisa diterapkan, yaitu konservasi in-situ dan konservasi ex-situ.

pelepasan orangutan orangutan.or.id

Berikut ini adalah pembahasan lebih lanjut mengenai kedua jenis konservasi lingkungan tersebut, yaitu:

1. In-Situ

Metode Konservasi in-situ adalah upaya pelestarian keanekaragaman hayati baik berupa flora ataupun fauna yang dilakukan di habitat asli spesies tersebut. Lingkungan yang akan menjadi lokasi konservasi harus masih berada dalam kondisi yang layak dan terjaga untuk dihuni oleh spesies tersebut.

Kawasan yang berfungsi sebagai lokasi konsevarsi antara lain suaka margasatwa, cagar alam, serta taman nasional. Suatu lingkungan ditetapkan sebagai kawasan konservasi agar resiko kerusakan pada habitat tersebut akibat aktivitas tertentu dapat terminimalisir, sehingga tidak mengancam kelangsungan hidup flora dan fauna.

Selain itu, spesies yang ingin dilestarikan tersebut adalah yang mempunyai karakteristik unik. Biasanya konservasi in-situ dilakukan apabila ada spesies langka yang hidup pada suatu lingkungan dalam jumlah besar dan tidak memungkinkan dipindah secara keseluruhan. Maka dari itu lingkungan tersebut harus dijadikan sebagai kawasan konservasi.

baca juga:  12++ Tumbuhan Pemakan Serangga dan Penjelasan Lengkap

Suatu kawasan yang ditetapkan sebagai lokasi konservasi in-situ tidak dapat diakses dengan mudah dan kegiatan yang dapat dilakukan di lingkungan tersebut terbatas. Orang yang ingin masuk pun membutuhkan izin resmi dari pengelola kawasan konservasi. Bukan hanya untuk menjaga lingkungan, tetapi populasi di kawasan in-situ memang berkeliaran secara liar.

Kegiatan perburuan di kawasan in-situ bersifat ilegal dan dianggap melanggar hukum. Jadi apabila ada oknum tertentu yang melakukan perburuan satwa atau penebangan secara liar, maka sudah dipastikan akan berurusan dengan pihak keamanan dan hukum yang berlaku.    

2. Ex-Situ

Metode konservasi ex-situ adalah upaya pelestarian keaneragaman hayati yang dilakukan bukan pada habitat aslinya, tetapi pada habitat buatan. Konservasi ex-situ menjadi alternatif apabila habitat asli dari suatu spesies sudah rusak, sehingga tidak layak lagi untuk dihuni dan apabila ingin mengembalikan fungsinya juga butuh waktu yang lama.

Syarat membuat habitat buatan untuk spesies yang terancam adalah wilayah habitat aslinya tidak terlalu luas dan populasi spesies tersebut juga tidak besar. Lokasi pembuatan habitat buatan biasanya terletak tidak jauh dari pemukiman manusia, sehingga spesies satwa yang menghuni kawasan tersebut tidak dilepaskan secara liar.

Orang yang ingin masuk ke kawasan konservasi ex-situ juga tidak dibatasi selama menaati aturan. Contoh bentuk konservasi ex-situ adalah penangkaran dan kebun binatang. Meski begitu habitat buatan ini dibuat sedemikian rupa agar benar-benar sesuai dengan habitat yang asli. Dengan begitu flora dan fauna yang menghuninya tetap dapat bertahan hidup.

Habitat buatan mungkin tidak akan seluas habitat aslinya, karena persoalan luas area hutan yang dapat dimanfaatkan dan juga biaya yang dibutuhkan cukup besar. Selain sebagai lokasi penangkaran, konservasi ex-situ juga berfungsi rehabilitas satwa yang akan dilepaskan kembali nantinya.

Adapun untuk habitat lama yang sudah mengalami kerusakan juga akan diberi tindaklanjut. Kawasan tersebut akan direforestasi atau usaha untuk mengembalikan kembali fungsi dari habitat tersebut.

Bentuk Konservasi Alam

Ada beberapa bentuk konservasi alam yang biasa diterapkan di Indonesia. Berikut ini adalah contoh dari upaya konservasi tersebut, antara lain:

1. Cagar Alam

Cagar alam adalah bagian dari suaka alam, termasuk juga suaka margasatwa. Kawasan ini adalah salah satu bentuk konservasi yang dilakukan pada habitat asli flora dan fauna yang mempunyai karakteristik sesuai dengan lingkungannya atau bersifat unik. Upaya perlindungan yang diberikan mencakup perkembangan pada ekosistem alami.

Wilayah cagar alam dihuni oleh flora dan fauna jenis yang dilindungi dengan kondisi ekosistem masih baik. Dengan begitu resiko terjadi terjadinya kerusakan ekosistem sangat rendah dan kawasannya juga masih luas, sehingga sesuai dengan aturan yang berlaku. Salah satu contoh cagar alam yaitu Cagar Alam Teluk Baro di Yogyakarta.

Tujuan penetapan kawasan cagar alam adalah untuk mencegah kerusakan di kawasan tersebut serta lingkungan di sekitarnya agar keanekaragaman hayati yang ada padanya tidak punah. Upaya tersebut dilakukan dengan memastikan kondisi tanah cagar alam selalu dalam kondisi yang subur.

Selain itu kualitas udara sekitar juga sangat diperhatikan agar tetap bersih. Begitupun dengan kondisi aliran dan prsediaan air yang digunakan dalam area cagar alam dan kawasan di sekitarnya. Dengan upaya tersebut maka flora, fauna, dan hasil hutan yang lain dapat terus meningkat dan lestari.

Pihak yang mengeluarkan aturan pengelolaan cagar alam adalah Balai Konservasi Sumber Daya Alam. Balai ini juga bertugas untuk memantau perkembangan ekosistem di wilayah cagar alam dan pihak yang terkait baik dalam bentuk perorangan, kelompok, maupun perusahaan.

2. Suaka Margasatwa

Sama halnya dengan cagar alam, suaka margasatwa juga ditetapkan apabila suatu kawasan mempunyai keunikan yang khas. Misalnya menjadi habitat bagi satwa liar atau ada spesies yang dilindungi hidup di kawasan tersebut. Kawasan ini lebih fokus pada upaya pelestarian satwa.

Oleh sebab itu tingkat keragaman fauna langka dan dilindungi harus berada dalam jumlah besar, sehingga dapat menjadi wilayah konservasi in-situ juga. Penetapan kawasan suaka margasatwa ditujukan agar proses pengawasan terhadap spesies langka yang dilindungi tersebut lebih mudah terlaksana.

Kondisi wilayah yang ingin dijadikan suaka margasatwa tidak masalah jika mengalami kerusakan kecil atau tidak terlalu parah. Setidaknya masih dapat menjadi tempat tinggal atau ‘rumah’ untuk satwa yang hidup di dalamnya. Kawasan suaka margasatwa juga harus mempunyai luas yang cukup untuk menampung populasi yang ada.

Beberapa contoh suaka margasatwa adalah Suaka Margasatwa Sikindur di Sumatera Utara dengan objek pelestarian utama adalah satwa dilindungi seperti gajah, macan, dan orangutan.

Suaka margasatwa berfungsi sebagai lokasi perlindungan dan pelestarian satwa dengan cara mengembangbiakkannya untuk mencegah resiko kepunahan. Tidak hanya itu saja, kawasan ini juga dapat dimanfaatkan untuk kegiatan penelitian, pendidikan, ilmu pengetahuan, bahkan wisata meski masih terbatas.  

3. Taman Nasional

Taman nasional adalah kawasan yang masih mempunyai ekosistem asli dan berfungsi sebagai lokasi pengawetan alam. Wilayah ini merupakan bagian dari kawasan pelestarian alam, termasuk juga hutan konservasi. Luas taman nasional harus memenuhi standar untuk melangsungkan proses ekologi.

Kawasan yang juga dihuni oleh berbagai spesies flora dan fauna unik ini dikelola dengan sistem zonasi. Pihak yang berperan penting untuk mengelola adalah Balai Besar Taman Nasional yang berada di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Penetapan wilayah taman nasional dimaksudkan untuk melestarikan spesies yang mewakili unit utama.

Selain sebagai tempat pelestarian spesies unik, taman nasional juga dapat menjadi lokasi rekreasi tetapi terbatas pada wilayah yang diizinkan saja. Taman nasional juga dapat dijadikan sebagai lokasi penelitian, pendidikan, pusat ilmu pengetahuan, dan rekreasi yang menarik.

Upaya untuk melestarikan spesies tidak hanya dilakukan langsung terhadap spesies tersebut, tetapi juga pada lingkungan penopang hidupnya. Itulah mengapa Daerah Aliran Sungai (DAS) sangat dipelihara serta pada area hulu dilakukan pengendalian erosi dan sedimentasi demi melindungi pasokan yang sampai ke hilir.

Selain melestarikan dan memelihara kondisi alam, pihak pengelola taman nasional juga bertanggung jawab untuk memanfaatkan lahan sekitar. Termasuk upaya untuk mengembangkan dan membangun desa yang ada di sekitar kawasan konservasi ini. Ada tiga zonasi di taman nasional yaitu:

  • Zona Inti. Kawasan ini tersusun atas komponen biotik yang membentuk karakteristik ekosistem taman nasional. Kondisinya pun harus dalam keadaan asli dan belum diganggu oleh tangan manusia. Fungsinya untuk memberi perlindungan flora dan fauna sensitif serta sebagai sumber plasma nutfah.
  • Zona Rimba. Kawasan ini berfungsi untuk mengembangbiakkan fauna langka dan apa saja yang menjadi penyangga bagi zona inti. Kawasan yang juga dijadikan sebagai area pengawetan sumber daya alam ini dihuni oleh fauna jenis satwa migran.
  • Zona Pemanfaatan. Kawasan ini menjadi lokasi legal, sehingga dijadikan sebagai tempat wisata. Cakupan wilayah zona pemanfaatan dibatasi oleh bentang alam seperti Taman Nasional Gunung Gede Pangrango yang dibatasi Kabupaten Bogor, Sukabumi, dan Cianjur.

4. Taman Laut

Taman laut ditujukan untuk lokasi perlindungan dan perbaikan pada ekosistem laut. Di mana ekosistem tersebut menjadi habitat flora dan fauna langka yang dilindungi, termasuk kegiatan penanaman terumbu karang yang rusak. Sama seperti yang lain, taman laut harus memiliki sumber daya alam yang khas dan unik serta luasnya memadai.

Selain sebagai lokasi konservasi, taman laut juga dapat menjadi saran wisata dan tujuan komersil yang lain. Hanya saja aturan yang diberlakukan kepada wisatawan cukup ketat demi mencegah terjadinya aktivitas mengganggu yang bisa merusak ekosistem laut.

Kawasan ini juga berfungsi sebagai pusat ilmu pengetahuan, pendidikan, dan penelitian. Dan paling utama adalah melestarikan spesies yang terancam dengan cara membudidayakan terumbu karang dan mengembangbiakkan berbagai jenis satwa air yang sudah terancam punah.

Salah satu contoh taman laut di Indonesia adalah Taman Laut Bunaken di Sulawesi Utara. Kawasan ini juga telah ditetapkan oleh UNESCO sebagai situs warisan dunia karena mempunyai kekayaan dan pesona terumbu karang yang khas dan unik. Jadi segala kegiatan perburuan di taman laut dianggap ilegal dan melanggar aturan.

5. Kebun Raya

Kebun raya adalah salah satu bentuk konservasi yang dikelola dengan metode ex-situ. Kawasan ini dibentuk dengan tujuan untuk melindungi dan melestarikan keanekaragaman alam. Berbagai spesies flora ditanam di dalam kebun raya yang dapat difungsikan untuk berbagai keperluan.

Beberapa bentuk pemanfaatan tumbuhan pada kebun raya yaitu membantu untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, pendidikan, dan wisata. Sebagai penunjang di dalam kebun raya disediakan perpusatakaan serta sarana dan prasarana yang mendukung kebutuhan ilmu pengetahuan dan daya tarik wisata.

Selain flora, kebun raya juga memelihara berbagai jenis satwa sebagai koleksi dan sekaligus dibudidayakan serta menjadi objek riset. Seluruh flora dan fauna yang ada di dalam kebun raya tersebut juga dapat menjadi sumber plasma nutfah demi mencegah risiko terjadinya kepunahan.

Salah satu kebun raya di Indonesia yaitu Kebun Raya Bogor yang mengoleksi berbagai jenis flora endemik dan eksotik. Kawasan konservasi ini juga melakukan budidaya pada satwa yaitu rusa.

6. Taman Hutan Raya

Taman hutan raya atau tahura adalah bagian dari kawasan pelestarian alam seperti taman nasional. Kawasan ini berfungsi untuk menjaga keseimbangan ekosistem dalam suatu wilayah, menjadi tempat untuk mengoleksi flora dan fauna, serta tempat untuk melestarikan plasma nutfah. Ekosistem tahura ada yang alami dan ada pula buatan.

Kawasan konservasi ini juga diperuntukkan sebagai penunjang kebutuhan dalam upaya pengembangan ilmu pengetahuan, budidaya, serta wisata. Contoh tahura di Indonesia yaitu Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda di Bandung, Jawa Barat. Taman hutan raya ini menampung 2.500 spesies flora yang diperoleh dari Benua Asia, Australia, Afrika, dan Amerika.

7. Hutan Bakau

Indonesia mempunyai garis pantai yang panjang, sehingga dibutuhkan upaya preventif untuk mengatasi akibat dari pasang dan surutnya air laut. Hutan bakau hadir sebagai upaya preventif tersebut yang terletak di atas kawasan air payau ataupun air tawar. Flora yang biasa ditemukan di hutan bakau, yaitu bakau, api-api, dan jeruju.

baca juga:  Bunga Rosela - Taksonomi, Pengolahan, Penghasil Budidaya, Manfaat & Ragam Olahan

Hutan bakau mempunyai peran penting dalam mencegah intrusi air laut yang menyebabkan rasa air tanah berubah menjadi payau, sehingga tidak layak untuk dikonsumsi. Kawasan konservasi ini juga berfungsi untuk mencegah proses abrasi dimana air laut yang lewat di celah akar pohon di hutan bakau mengikis tanah.

Konservasi di Indonesia

Upaya konservasi di Indonesia sebenarnya sudah dimulai pada abad ke-15 saat wilayah nusantara masih terbagai dalam bentuk kerajaan-kerajaan, tetapi dalam bentuk yang berbeda.  Pada masa itu konservasi dilakukan oleh masyarakat secara sakral dengan melibatkan unsur magis berupa  kepercayaan mistik serta kekuatan alam.

Wikipedia Commons

Wujud konservasi tersebut berupa pantangan seperti larangan untuk mengambil jenis tanaman dan hewan tertentu serta larangan memasuki kawasan rawa-rawa, hutan, danau, dan gunung. Walaupun belum mengenal konservasi, tetapi pantangan tersebut mempunyai manfaat yang sama dengan konservasi.

Sejarah konservasi baru dikenal oleh bangsa Indonesia pada masa kolonialisme Belanda. Saat itu kalangan naturalis Belanda berkeinginan untuk memiliki hasil alam seperti yang ada di Indonesia. Pada masa itu ada dua kejadian penting yang akhirnya menjadi cikal bakal konservasi.

Pada tahun 1714 seorang berkebangsaan Belanda, Chastelein, memberikan dua bidang tanah persil di kwasan Depok yang mempunyai luas 6 hektar kepada para pengikutnya. Chastelein berharap bahwa bidang tanah yang dijadikan sebagai natuur reservaat atau cagar alam tersebut dapat dikelola dengan baik.

Pada tahun 1889 areal hutan alam Cibodas ditetapkan statusnya menjadi lokasi penelitian flora pegunungan oleh usulan dari direktur kebun raya yang saat itu dikenal dengan nama Direktur Lands Plantentuin. Kawasan tersebut kemudian mengalami perluasan pada tahun 1925 hingga mencapai pegunungan Gede dan Pangrango.

Sekitar akhir abad ke-19 wacana konservasi kembali diperbincangkan karena pada tahun 1896 pemerintah kolonial Belanda memperoleh tekanan oleh pihak Hindia Belanda akibat kasus penyelundupan burung cendrawasih. Inilah hasil dari keinginan Belanda untuk memiliki hasil alam seperti dengan Indonesia.

Kasus tersebut mengusik M.C. Piepers selaku mantan pegawai di Departemen Hukum Hindia Belanda yang juga merupakan seorang entomologi untuk mengadakan upaya perlindungan. Piepes mengusulkan untuk membentuk taman nasional layaknya Yellowstone National Park di Indonesia untuk melindungi flora dan fauna yang terancam punah termasuk cendrawasih.

Rentetan kejadian itulah yang menjadi pemicu lahirnya upaya konservasi seperti yang dikenal saat ini di Indonesia. Berikut ini adalah tahapan konservasi di Indonesia yang berlangsung dari tahun ke tahun.

  • 1910. Pada tahun ini kalangan naturalis Belanda menolak kebijakan kolonial yang berakibat pada kerusakan ekosistem. Penolakan tersebut akhirnya melahirkan Undang-Undang Perlindungan terhadap mamalia liar dan burung liar.
  • 1912. Tepat pada tanggal 12 Juli 1912 Perkumpulan Perlindungan Alam Hindia Belanda atau Netherlandsch Indische Vereenigin tot Naturbescherming dibentuk di Bogor yang diketuai oleh SH. Koorders yang juga merupakan pendirinya. Perkumpulan ini mengusulkan berbagai habitat flora dan fauna untuk dilindungi, sehingga hasilnya ada 12 lokasi yang diusulkan menjadi cagar alam yaitu Pulau Krakatau, Pulau Panaitan, Laut Pasir Bromo, Semenanjung Purwo, Pulau Nusa Barung, Kawah Ijen, dan beberapa danau yang ada di Banten.
  • 1916. Pemerintah mengeluarkan aturan tentang Monumen Alam sekaligus menetapkan 43 monumen di Indonesia termasuk Taman Nasional Ujung Kulon.
  • 1937. Pemerintah Hindia Belanda mendirikan Natuur Bescherming Afseling Ven’s Lands Flantatuin dengan tujuan melakukan pengawasan terhadap cagar alam dan suaka margasatwa serta menglola anggaran dan pegawainya.
  • 1940. Pemerintah mengeluarkan Peraturan Perburuan Jawa-Madura yang melahirkan pembagian tugas di mana Taman Nasional Ujung Kulon dikelola Kantor Besar Kehutanan Bogor, sedangkan wilayah cagar alam dan suaka margasatwa lain dikelola Inspektur Kehutanan Provinsi.
  • 1947. Setelah Indonesia memperoleh kemerdekaan kawasan Bali Barat ditetapkan sebagai Suaka Alam.
  • 1950. Dibentuk Urusan Perlindungan Alam di Djawatan Kehutanan yang bertugas menangani kegiatan perburuan liar terhadap badak di Ujung Kulon.
  • 1952. Kebun Raya Bogor membentuk Lembaga Pengawetan Alam yang juga merupakan bagian dari Pusat Penyeledikan Alam Kebun Raya Bogor.
  • 1954. Rehabilitasi Suaka Margasatwa menjalin kerjasama dengan IUCN.
  • 1956. Status Urusan Perlindungan Alam di Djawatan Kehutanan berubah menjadi Bagian Perlindungan Alam atau BPA yang melaksanakan tugas organisasi secara vertikal.
  • 1950-1959. Dalam rentang waktu sembilan tahun tersebut tanah yang dikuasai oleh masyarakat ditertibkan secara represif oleh Djawatan Kehutanan. Polisi hutan pada masa ini sudah dibekali dengan senjata api.
  • 1966. Direktorak Jenderal Kehutanan di bawah Departemen Pertanian dibentuk dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Presiden Kabinet Nomor 75/II/Kep/11/1966.
  • 1967. Pada tanggal 9 Maret 1967 Struktur Organisasi Departemen Kehutanan dibentuk melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor Kep./30/11/1966 dan juga surat Nomor Kep./18/3/1967.
  • 1969. Pada tanggal 25 hingga 28 November 1969 Indonesia dengan utusannya Dr. Ir, Rudy C. Tarumingkeng dan Ir. Hasan Basjarudin menghadiri pertemuan yangg diadakan oleh IUCN di New Delhi, India.
  • 1974. Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam dengan bantuan dari FAO, UNDP, NGO, dan lainnya mengadakan kegiatan untuk menyusun kawasan konservasi yang ada di Indonesia.
  • 1978. 104 jenis satwa di Indonesia masuk ke dalam kelompok fauna yang dilindungi.
  • 1982. Pelaksanaan Kongres Taman Nasional Sedunia yang ke-3 di Bali menghasilkan Deklarasi Bali.
  • 1983. Departemen Kehutanan dibentuk yang turut mengubah status Direktorat Perlindungan Pengawetan Alam sebagai Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (PHPA).
  • 1985. 371 spesies burung atau aves, 95 spesies mamalia, 28 spesies reptil, 6 spesies ikan, dan 20 spesies serangga ditetapkan sebagai satwa yang dilindungi oleh negara. 

Industrial Engineer, Civil Servant, Entrepreuner & Writer.