Taman Buru – Berburu adalah kegiatan yang telah dilakukan sejak zaman nenek moyang kita dahulu. Ketika itu, perburuan dilakukan untuk bertahan hidup dan memenuhi kebutuhan primer, yaitu makanan.
Hingga saat ini kegiatan perburuan hewan liar juga masih terus dilakukan, akan tetapi mengalami pergeseran tujuan, yakni sebagai hobi bagi para wisatawan dan menjadi sumber devisa negara. Hobi berburu difasilitasi oleh negara melalui kawasan hutan konservasi, yaitu taman buru dengan aturan-aturan tertentu. Misalnya aturan tentang jenis hewan yang boleh diburu atau tidak, serta jenis senjata yang boleh dipergunakan.
Daftar Isi
Pengertian Taman Buru
Taman Buru adalah salah satu bagian dari hutan konservasi selain Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Hutan Pelestarian Alam. Taman Buru dikhususkan untuk mewadahi kegiatan hobi atau wisata berburu.
Selain itu, kawasan ini juga berfungsi untuk mengendalikan populasi perburuan. Pengendalian tersebut terutama bagi hewan-hewan yang langka dan terancam punah, serta sering menjadi sasaran perburuan.
Karena menjadi bagian dari kawasan hutan konservasi, maka peraturan taman buru harus mengikuti aturan di wilayah berstatus konservasi. Peraturan-peraturan tersebut harus sejalan dengan upaya pelestarian hutan dan segala keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya, meliputi tumbuhan, satwa dan seluruh ekosistem kawasan.
Dalam mengelola taman buru, terdapat beberapa syarat penting yang perlu diperhatikan, antara lain:
- Mengetahui dan memperhatikan jumlah populasi hewan buruan. Jika jumlah individu hewan target buruan jumlahnya sedikit maka perburuan harus dicegah dan dihentikan.
- Mengetahui dan meperthatikan musim kawin atau perkembangbiakan hewan-hewan buruan. Pihak pengelola harus mencegah satwa yang tengah hamil untuk diburu karena akan memutus keturunan dan jika induk hewan buruan masih memiliki anak yang belum dewasa, maka harus mengeluarkan larangan berburu.
- Memperhatikan usia hewan buruan dan fokus terhadap hewan-hewan yang telah berkembangbiak agar hewan muda tidak ikut diburu.
- Cakupan wilayah buruan serta lama waktu perburuan sebagai upaya pelestarian keseimbangan ekosistem.
- Membatasi jumlah hewan yang diburu, misalnya terbatas pada wilayah tertentu dan periode tertentu.
- Mengatur jenis senjata yang boleh digunakan agar tidak membahayakan lingkungan sekitar serta menimbulkan trauma bagi hewan-hewan lainnya.
Sejarah Perburuan
Aturan berburu di Indonesia telah dibuat pada masa penjajahan kolonial. Berdasarkan catatan sejarah, perburuan secara legal telah dilakukan sejak tahun 1747 yang menyasar pada badak dan harimau.
Akan tetapi, aturan terget buruan inilah yang menjadi salah satu punah serta langkanya beberapa spesies badak dan harimau endemik di Indonesia.
Terdapat sejarah perburuan harimau yang pernah dilakukan di Indonesia, yaitu:
- pada tahun 1911 di Bali perburuan dilakukan oleh Baron Oscar
- pada tahun 1910-1940 seorang pemburu ulung bernama Ledeboer berhasil memburu harimau jawa sebanyak 100 ekor
- pada tahun 1890-1900 harimau sumetera banyak diburu oleh pemburu Belanda
- pada tahun 1920 dan 1941 juga terjadi perburuan harimau di Garut dan Banter
- perburuan harimau sumatera di Padang pada tahun 1900-1907
Sejarah juga mencatat pada tahun 1600-an bersamaan dengan pendirian VOC di Jakarta dibangunlah Lapangan Banteng atau Lapangan Paviljoen oleh Gubernur Jenderal Maetsujiker pada tahun 1644 yang menjadi area khusus berburu. Pada masa itu, jumlah pemburu bahkan mencapai 800 orang.
Ketentuan perburuan pertama kali diterbitkan pada tahun 1931 melalui undang-undang perburuan (Jacht Ordonantie) serta undang-undang binatang liar (Dierenbescherning Ordonantie). Kegiatan berburu saat itu juga patuh terhadap undang-undang senjata api, penggunaan mesiu dan bahan peledak (Vuurwapen Ordonantie).
Selanjutnya setelah kemerdekaan Indonesia, keluarlah Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya yang mengakhir berlakukan undang-undang perburuan dan undang-undang binatang liar yang dikeluarkan oleh Belanda.
Untuk melengkapinya, kemudian aturan teknis mengenai perburuan diatur dalam peraturan menteri yang membawahi bidang kehutanan (Peraturan Menteri Kehutanan)
Peraturan Perburuan di Indonesia
Kegiatan berburu hewan di taman buru harus tunfuk terhadap peraturan teknis yang berlaku. Seorang pemburu harus memperoleh surat izin yang hanya bisa didapatkan apabila pemburu telah memiliki akta buru. Namun peraturan ini terbatas dan dikecualikan kepada pemburu tradisional.
Sebelum melakukan perburuan dan setelahnya, pemburu wajib melaporkan kegiatannya kepada petugas kehutanan serta pihak keoplisian setempat. Aktivitas tersebut juga harus didamping oleh pemandu buru dan semua kegiatan harus sesuai dengan perjanjian yang disepaakti.
Jenis satwa serta jumlah binatang buruan diatur dalam Permenhut No: P.19/Menhut-II/2010 tentang Penggolongan dan Tata Cara Penetapan Jumlah Satwa Buru. Pada peraturan tersebut terdapat berbagai kriteria hewan buruan, sebagai berikut:
- Target buruan bukan satwa liar yang dilindungi, akan tetapi pada kondisi tertentu satwa yang dilindungi boleh diburu. Penetapan hewan yang dilindungi namun boleh diburu bisa dilakukan jika bertujuan untuk mengendalikan hama, pembinaan dan pengontrolan jumlah populasi, pembinaan terhadap habitat satwa, kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, penelitian rekayasa genetik, keperluan bibit induk penangkaran, serta pemanfaatan hewan hasil penangkaran.
- Adanya pembatasan jumlah satwa buruan bergantung pada peraturan tiap-tiap taman buru. Batas jumlah hewan buruan diterapkan dengan mempertimbangkan laju penningkatan populasi hewan tertentu. Oleh sebab itu, diperlukan kegiatan inventarisasi dan pemantauan untuk menentukan jumlah hewan yang dapat diburu dari jumlah populasi yang ada.
- Terdapat aturan jadwal atau waktu perburuan agar kelestarian alam dan satwa buruan tetap terjaga. Waktu berburu atau dikenal sebagai musim berburu harus memperhatikan kondisi populasi hewan buruan, musim kawin hewan buruan, musim melahirkan dan bertelur, perbandingan hewan jantan dan betina, serta umur satwa target buruan. Pada kondisi tertentu terjadi lonjakan populasi hewan tertentu, maka pengelola taman buru dapat mengambil langkah perburuan hewan tersebut.
- Alat dan senjata untuk berburu diatur agar tidak memberi dampak negatif terhadap lingkungan dan hewan lainnya. Beberapa alat buru yang diperbolehkan, antara lain senjata api khusus buru, senjata angin, peralatan tradisional serta alat lain sesuai jenis hewan yang menjadi target.
Daftar Lokasi Taman Buru di Indonesia
Keanekaragaman hayati Indonesia sangatlah besar, tidak heran jika negara kita mendapat julukan sebagai negara mega biodiversitas karena ragam satwa dan tumbuhan yang dimilikinya. Kawasan hutan Indonesia yang seluas 129 juta hektar lebih menjadi habitat berbagai flora dan fauna.
Dari total luas tersebut, sekitar 57 juta hektar merupakan kawasan lindung yang terdiri dari hutan lindung (30 juta hektar), hutan konservasi (27 juta hektar) dan sisanya adalah hutan produksi.
Taman buru merupakan bagian dari hutan konservasi. Jumlah taman buru di Indonesia tersebar menjadi 15 lokasi, antara lain:
- Bangkala, berada di Takalar, Sulawesi Selatan, seluas 4.152,50 ha, berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor : 760/kpts/um/10/82, pada tanggal 12 Oktober 1982.
- Komara, berada di Takalar, Sulawesi Selatan, seluas 2.972,00 ha, berdasarkan keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 237/kpts-ii/1997, pada tanggal 9 Mei 1997.
- Bena, berupa dataran, berada di Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, seluas 2.000,64 ha, berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan RI nomor: 74/kpts-ii/1996, pada tanggal 27 Februari 1996.
- Moyo berupa pulau, berada di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, seluas 22.250,00 ha, berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 308/kpts-ii/1986, pada tanggal 4 September 1986.
- Nanu’ua berupa gunung, berada di Bengkulu Utara, Bengkulu, seluas 10.000,00 ha, berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor: 741/kpts/um/11/78, pada tanggal 1 November 1978.
- Landusa tomata, berada di Poso, Sulawesi Tengah, seluas 5.000,00 ha, berdasarkan keputusan menteri Kehutanan RI nomor: 397/kpts-ii/1998, pada tanggal 21 April 1998.
- Lingga isaq, berada di Aceh Tengah, Nangroe Aceh Darussalam, seluas 80.000.00 ha, berdasarkan, keputusan Menteri Pertanian RI nomor: 70/kpts/um/2/78, pada tanggal 1 Februari 1978.
- Masigit kareumbi berupa gunung, berada di Sumedang dan Garut, Jawa Barat, seluas 12.420,70 ha, berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan RI nomor: 298/kpts-ii/1998, pada tanggal 27 Februari 1998.
- Mata osu berupa padang, berada di Kolaka, Sulawesi Tenggara, seluas 8.000,00 ha, berdasarkan keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 643/kpts-ii/1998, pada tanggal 23 September 1998.
- Ndana berupa pulau, berada di Kupang, Nusa Tenggara Timur, seluas 1.562,00 ha, berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 83/kpts-ii/1993, pada tanggal 1 Januari 1993.
- Pini berupa pulau, berada di Nias, Sumatera Utara, seluas 8.350,00 ha, berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan RI RI Nomor: 347/kpts-ii/1996, pada tanggal 5 Juli 1996.
- Semidang bukit kabu, berada di Bengkulu Utara, Bengkulu, seluas 15.300,00 ha, berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor: 186/kpts/um/4/73, pada tanggal 1 April 1973.
- Tambora selatan, berada di Dompu, Nusa Tenggara Barat, seluas 30.000,00 ha, berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor: 676/kpts/um/11/78, pada tanggal 1 November 1978.
- Rempang berupa pulau, berada di Kepulauan Riau, seluas 16.000,00 ha, berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 307/kpts-ii//1986, pada tanggal 29 September 1986.
- Rusa berupa pulau, berada di Alor, Nusa Tenggara Timur, seluas 1.384,65 ha, berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor Nomor: 8820/kpts-ii/2002, pada tanggal 24 Oktober 2002.
Kontroversi Kegiatan Perburuan
Aktivitas berburu di Indonesia menuai sejumlah kontroversi dari berbagai pihak. Di negara-negara lain, kegiatan ini merupakan ajang rekreasi serta hobi yang dilakukan pada musim tertentu, bahkan menjadi sumber devisa melalui sektor pariwisata.
Akan tetapi, ada anggapan jika kegiatan ini bertentangan dengan semangat konservasi. Pendapat ini terutama datang dari organisasi atau lembaga pecinta lingkungan dan binatang yang menentang perburuan. Mereka menganggap kegiatan berburu identik dengan mempermainkan binatang, penyinksaan serta pembunuhan hewan untuk untuk bersenang-senang.
Namun selain itu, ada juga pendapat yang menyetuji legalisasi perburuan dengan alasan bahwa kegiatan ini sulit untuk dikendalikan jika tidak diakomodir dan diatur pada wilayah tertentu. Kelompok ini juga berpendapat bahwa kegiatan berburu di taman buru juga bermanfaat untuk mengendalikan laju populasi jenis binatang yang mengganggu ekosistem.
Bahkan MUI (Majelis Ulama Indonesia) pernah mengeluarkan fatwa jika kegiatan membunuh, menyakiti, menganiaya, memburu dan atau melakukan tindakan mengancam kepunahan satwa langka adalah haram hukumnya kecuali atas alasan syar’i, yakni untuk melindungi diri atau menyelamatkan nyawa manusia.
Meski telah disediakan kawasan taman buru, namun pada kenyataannya kegiatan berburu secara ilegal masih banyak dilakukan. Hal tersebut disebabkan oleh kurangnya kesadaran pemburu tentang kelestarian komponen-komponen ekosistem yang mestinya harus dilindungi.